TRIWIKRAMA
Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi
kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak
roh manusia diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem
jinem, dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem
tenteram dan selamat di dalam alam keabadian. Di sana roh belum terpolusi nafsu
jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif).
Dari alam keabadian selanjutnya roh manitis yang pertama
kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah zaman tirtayuga.
Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati
sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang rena (ibu).
Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman
dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma
adalah berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang
Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon
manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan
raga. Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9
bulan lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga.
Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi
menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir
Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadha. Merca artinya panas
atau rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah
tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai Madyapada,
madya itu tengah padha berarti tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah,
terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah
ajal.
KIDUNG PANGURIPAN
“SAKA GURU”
Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki
kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan
tidak dipahami sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan
sebagai kata kiasan dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah (kalbu).
Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING SINGKAT namun PALING BERAT dan
SANGAT MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati
abadi azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan
bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan di
dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat
(membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan
manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam
berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati
manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan
ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming,
namun dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup
manusia. Berikut ini alurnya :
1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan
menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu,
sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut
tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam
mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga,
namun harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi
mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan
yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa
tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya
menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang
(bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat
Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi.
Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan
menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang.
Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya
terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu
waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua
takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai
meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan
kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak
berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang
selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan
berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan
tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya.
Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih
suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi
(diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi
pertiwi.
4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi
remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda
usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar
pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar
hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih
sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi
pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya
sering salah kaprah.
5. DHANDANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana.
Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan
orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun
dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak
baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika
perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa
juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia.
Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya
menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja
hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak
peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak
tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya
setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika
tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus
tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana
saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus
dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya
orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda
yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. ASMARADANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar
jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara.
Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga
atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu
apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara
membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang
penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar
tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya.
Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah
memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang
mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku,
yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka
berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat
dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu
akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal
menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh,
seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh.
Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa
cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah
dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang.
Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi
manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa
henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya
mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu
tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi
lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan
menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan
rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi
pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan
hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan.
Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang
sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa
dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja
misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai
istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara)
yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmoko,
duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicara
buruk), durajaya, dursahasya, durmala, durniti, durta,
durtama, udur, dst. Tembang Durma, diciptakan untuk
mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung
berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan
benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia
cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep).
Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak
digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia
walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya
baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di
planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti.
Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang
(mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat
mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini
yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu.
Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak
cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi
sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua.
Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa.
Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari
ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru
ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu
untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun
sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak
melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang
gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!
10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat
tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa
kompromi sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk
memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan
penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala
surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan
di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang
sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri
ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga,
namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala
telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai
dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa,
sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna
tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru
menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan
hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan
dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling
pintar, namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri.
Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati
sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu
dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang
panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik
kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok
hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai
lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para
leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru
setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak
mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga
sendiri dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang
mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini,
merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya
para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya
sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa
lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa
hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang
suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan
sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung
kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati.
Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau
mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti
mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang
kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir
belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut
Tuhan. Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka
menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang
hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan
diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok
kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan
suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang
salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak
jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.
12. WIRANGRONG
Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah
dan bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan
bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang
lain. Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh
cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun
artinya manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan
bagi sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya.
Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu
hayuning bawana, rahmatan lil alamin.
Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke
liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong,
berikut segala perbuatan memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang
kaku. Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh anak, cucu,
dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan menyesal namun tak bisa lagi
bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh
keparat, yang jelata maupun berpangkat, tidak pandang derajat seluruh
umat. Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong kemuliaan
di akherat. Hidup di dunia sangatlah singkat, namun mengapa manusia banyak yang
keparat. Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang
Mahakuasa, yakni segenap jiwa dan raganya.
Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada
seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat. Pakaian itu hanya
akan mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya
namun pelit dan suka menindas, orang miskin namun kejam dan pemarah,
orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai
sesama, semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi.
Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu
duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana
yang salah telah dilucuti, tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi.
Semua sudah menjadi rumus Ilahi.
Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam
yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta.
Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya
manusia yang berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam
keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi
dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas
kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang
masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di
alam keabadian yang langgeng tan owah gingsir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar